“Jadi, apa bedanya nikah dengan ketika lo masih lajang dulu”
Seorang sahabat bertanya kepada saya. Hmm, saya sempat tercenung sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. Well, yang jelas bagi menikah membuat saya jauh lebih bertanggungjawab.
Sederhananya begini, ketika lajang saya bisa seenak hati saya kerja dari pagi sampai sore, malamnya pun masih sempat kongkow-kongkow ga jelas dengan teman-teman saya belum lagi pola makan dan pola hidup saya yang ga sehat. Dan saya bisa gak peduli dengan semua itu. Nah, dengan menikah saya lebih banyak berpikir sebelum melakukan sesuatu. Tidak ada lagi kerja dari pagi sampai sore *saya memang resign karena ngikut suami pindah ke kota lain*, saya lebih peduli dengan kesehatan dan pola hidup saya. Dan yang paling terasa saya jauh merasa lebih nyaman dengan hidup saya.
Pernah, tercetus pertanyaan betapa naifnya saya karena meninggalkan pekerjaan dan ngikut suami. Saya akui keputusan itu memang cukup berat, meninggalkan dunia kerja untuk menjadi ibu rumah tangga. Tapi setelah banyak pertimbangan saya akhirnya memilih meninggalkan pekerjaan saya. Saya tidak cukup siap mengarungi pernikahan jarak jauh, ditambah dengan perekenalan saya dengan suami yang begitu singkat sebelum akhirnya kami memutuskan menikah.
Mari berhitung:
Kalau saya tetap bekerja dan kami mengarungi pernikahan jarak jauh, mungkin saya tidak sempat mengenal lebih jauh suami saya, mengenali kebiasaan-kebiasaannya, memahami keinginan-keinginannya, kami juga tidak bisa melaksanakan fungsi suami istri secara utuh dan tentu saja berat diongkos.
Saya kerja dari Senin sampai Sabtu. OK, Sabtu Cuma setengah hari. Kalau tiap minggu saya mengunjungi suami, mungkin gaji saya habis diongkos saja. Kalaupun suami yang mengunjungi saya tentu lebih repot lagi, karena suami seorang wirasawasta tidak ada hari libur. Dan akhir pekan justru hari yang paling sibuk bagi dia. Kalaupun saya sekali dua minggu mengunjungi suami memang tidak berat diongkos namun waktu untuk bersama pun begitu sempit.
Lagian berapa sih gaji saya? Bukannya tidak bersyukur, cuma rasanya terlalu ‘kejam’ mengorbankan pernikahan kami ‘hanya’ demi gaji yang tidak seberapa itu. Toh, saya pun cuma karyawan kontrak yang jenjang karirnya mandeg.
Suami tetap mengijinkan saya hunting pekerjaan di kota baru saya. Dia gak pernah mengekang. Dan walau tidak pernah disinggung dari awal pernikahan, cuma ketika menikah ternyata dia sudah punya perhitungan sendiri soal keuangan keluarga. Wow, dia memang suami yang hebat walau saya tahu dia bukanlah pengusaha dengan omzet milyaran rupiah, tapi dia begitu disiplin mengelola keuangan dan tanpa bekerja pun saya diajari bagaimana bisa punya ‘penghasilan’ sendiri.
Tentu bukan dengan ikut wirausaha seperti dirinya. Nah, karena suami bukanlah orang gajian yang tiap bulan menerima gaji, saya dikasih belanja harian. Dari uang belanja harian itu saya bisa menabung sebesar Rp. X,- setiap bulan. Wow, bahkan ketika masih bekerja dulu saya begitu susah untuk menabung karena tiap bulan gaji saya habis untuk bayar biaya hidup saya saja.
Perbedaan lain antara menikah dengan lajang adalah, saya lebih perhitungan dengan uang. Hahha tapi dalam artian positif. Dulu ketika masih lajang saya terbiasa beli baju, sepatu, tas atau asesori lainnya tiap bulan. Walaupun tidak semua item, Cuma tiap bulan ada aja yang baru. Mana kepikiran untuk nabung apalagi investasi?
Awal-awal menikah kelakuan ketika lajang masih terbawa. Saya masih sering beli ini itu yang kalau dipikir-pikir ga begitu penting. Suami ga pernah melarang Cuma bertanya ‘barang itu penting gak?’ Setelah dua bulan pernikahan saya mulai bisa menkategorikan barang-barang yang dibutuhkan, barang-barang yang ‘Cuma lapar mata’ saja dan barang-barang yang ga punya nilai guna sama sekali. Dan ternyata ketika bisa memakai skala prioritas, tabungan saya membengkak ;)
Selanjutnya menikah membuat saya nyaman dan bahagia. Jujur saja, ketika belum dapat gambaran sama sekali tentang menikah saya takut sekali menjadi perawan tua. Ya, usia 25 tahun dengan status single adalah momok menakutkan bagi sebagian perempuan. Apalagi saya yang ketika itu tidak punya waktu untuk bersosialisasi. OK, teman2 saya banyak, kenalan banyak. Cuma saya merasa saya tidak punya waktu untuk bisa ‘mencari’ pasangan hidup yang sesuai dengan saya. Memang ada beberapa pria yang dekat ataupun yang saya sukai, Cuma saya meragukan keseriusan mereka. Saya butuh pria yang mau berkomitmen. Dan, bagai jatuh dari langit suami saya datang ‘menyelamatkan hidup’ saya *sok dramatis* :D
Kalau dipikir dengan akal sehat tidak masuk akal seorang saya yang sangat ‘picky’ bisa langsung memutuskan menikah dengan orang yang baru saya kenal, tapi kalau dipikir dengan ‘rasio Allah’ mungkin masuk akal saja. Saya ingin menikah dan ada orang yang mengajak saya menikah. Dan kami pun menikah. Yah, sesimpel itu ;)
i wish, i get the right one too :)
BalasHapushaii buk bara baca blognya..
BalasHapuskalo aq sudah ngerasain long distance relationshipnya, ada bagus ada ng nya, bagusnya ya selalu kangen terus. Ng nya...ya ng bisa nabung deh :P..tapi untuk menjadi wanita yang baik dan istri yang soleha, insya allah semua pengorbanan (berenti kerja) kita dinilai lebih oleh Allah..amiin