Sabtu, 19 Desember 2009

Antara saya, mantan calon pacar, mantan dan pacar mantan saya ;)

OK. Inilah kekonyolan yang saya lakukan hari ini. Iseng mencari di mesin pencari di situs jejaring social nama-nama mantan calon pacar saya (sebagian besar kita mungkin punya banyak mantan calon pacar-lawan jenis yang hampir menjadi pacar tapi karena satu dan hal lain gak kesampaian), kemudian mantan pacar, dan sialnya saya juga sempat melihat pacar mantan pacar saya! Hahahha

Anggap saja ini efek dari ‘liburan membosankan dan ga tau mesti ngapain’ jadinya saya malah browsing2 gak jelas. Jangan pula berpikir saya masih belum bisa melupakan masa lalu saya dan terobsesi dengan mantan pacar saya. Bukan, sama sekali bukan cuma setan penasaran sedang kuat banget bersemayam di pikiran saya sehingga entah kenapa saya ingin tau aja bagaimana keadaan orang2 yang dulu pernah begitu dekat dengan kehidupan saya.

Pertama saya search nama lengkap cinta monyet saya ketika SMP. Well ketika SMP saya punya dua sosok pacar idaman yang kedua-duanya hanya berstatus –calon mantan pacar- suka-sukaan, naksir-naksiran namun gak sempat terucapkan jadinya sampai sekarang kami (saya) penasaran setengah mampus! (bohong! ;))

Mantan calon pacar si Mr. A udah ketemu dan kami temenan di FB. Seneng banget melihat dia sekarang, tanpa ingin mengulang yang dulu tidak tuntas (ah, barangkali saya saja yg ke-GR-an kami ada apa-apanya ketika SMP dulu ;)) tapi komunikasi cukup lancar dan yah, kami berteman sekarang dan saya cukup senang dengan hal itu mengingat dulu ketika SMP jangankan menyapa namanya, melihat wajahnya saja ketika berpapasan saya begitu malu hahaha :D

Mantan calon pacar si Mr. B. Saya baru teringat dengannya tadi siang, browsing dan menemukannya! Wow, dia baru saja menikah! Jujur saya heran hal apa yang membuat saya dulu begitu tergila-gila padanya. OK, dia memang cakep bgt waktu itu. Dia juga idola cewek-cewek, dia punya selera humor dan selera musik yang sama dengan saya dan kami sekelas dari kelas 1 sampai kelas 3. Dan dia adalah best friend saya ketika itu Hahahah..tapi sekarang sedikitpun saya ga menemukan alasan apa yang bisa membuat saya tertarik dengan dia. Dia hanyalah cowok biasa.. Ah, cinta monyet!

Dan ini dia si Mr. C. Ini gak Cuma calon tapi beneran mantan pacar saya. Cowok yang membuat saya patah hati dan menangis darah serta hancur berkeping-keping *lebay* ;) Bagaimana saya bisa jelaskan. Mr. C adalah cocok yang sebelum menjadi pacar saya dulu sedikitpun gak masuk kategori saya ketika itu. Masa-masa ABG fisik emang sangat penting. Nah, si Mr. C sedikitpun gak masuk kategori pria berfisik menarik. Gendut, item, bulet. Hihihi jahat bgt ya? Namun berkat kegigihannya untuk mendapatkan cinta saya *cuih bahasanya* saya akhirnya ga tega menolak dan jadilah dia pacar saya. Entah pakai ilmu sihir apa, setelah jadian saya akhirnya menyukainya. Mungkin karena dia baik atau karena kesabarannya pokoknya saat itu saya bisa mencintainya!

Dan setelah beberapa waktu bersama datanglah bencana bernama Miss. D. Pacar saya yang bulet itu pun mulai mendua. Dia meninggalkan saya demi Miss D! WTF! Bener2 cowok ga tau diri (ini kata sahabat2 saya yang tau betul kisah jatuh bangun si Mr. C mengejar2 saya) Hahahha..

Dan hari berganti bulan, bulan berganti tahun..Saya ga pernah lagi bertemu dengan si Mr. D. Masih sempat setelah bencana itu datang dia menemui saya naga-naganya sih pengen balik cuma waktu itu saya begitu terluka dan tidak sudi melihat mukanya lagi. Dan waktu memang obat yang paling mujarab, perlahan saya bisa melupakan dan akhirnya bisa mentertawakan kebodohan saya kenapa begitu menggilainya. Sejatinya saya waktu itu tidak bahagia bersamanya. Kami gak pernah nyambung.

Contoh ringan selera musik, ketika saya tergila-gila dengan Westlife, Back Street Boys dan boy band2 lainnya dia malah memutar lagu2 semacam Gereja Tua dan lagu2 Pance Pondaag dan Ratih Purwasih di tape mobilnya. OMG! :D

Ketika saya tenggelam dengan buku-buku di perpustakaan, dia malah lebih suka nongkrong2 ga jelas dengan geng-nya di kantin.

Dan begitu banyak ketidak nyambungan lainnya antara saya dan dia. Satu-satunya yang membuat kami bertahan adalah saya ‘mencintainya dan dia mencintai saya. Ah, saya juga tidak tahu cinta macam apakah yang kami pertahankan ketika itu?

Well, kembali ke topik awal. Saya menemukannya di FB setelah tujuh taun. Tentu saja saya tidak ingin mengklik add as friend di profilnya. Saya terlalu gengsi untuk itu. Cuma saya bisa melihat info dan foto-fotonya. Dia masih sama seperti dulu. Gendut, bulet tapi gak item kaya dulu lagi. Agak lebih cerah dikit.

Dan..dan.. saya melihat bencana itu! Si Miss D! Damn! Mereka MASIH bersama? Hohoho….sabar, saya tidak cemburu lagian apa peduli saya? Toh dia bukan siapa-siapa saya lagi. Toh, sekarang saya sudah menikah dan mempunyai suami yang luar biasa dan mencintai saya. Toh, hidup saya alhamdulillah bahagia. Tapi kenapa ada semacam rasa aneh menyusup di hati saya? Cercalah saya tapi jujur saya merasa tersaingi.

Tidak apa-apa kalau sekarang si Mr. C menikah atau bepacaran dengan cewek manapun tapi bukan si Miss D! Perempuan yang merebut perhatian Mr. D dari saya (DULU!) Bukan dia..bukan dia.. :D

Apakah saya sudah sinting?

Ego saya terancam oleh hal yang sungguh sangat konyol! Sekarang tentu saja saya tidak merasakan apa-apa lagi dengan si Mr. C. Malah saya bersyukur saya putus dengannya dan bertemu dengan suami saya. Cuma saya belum bisa ‘berdamai’ dengan Miss D!





Sederhanyanya begini:

Mr. C yang dulunya (gendut, bulet, item dan ga menarik) dan karena belas kasihan saya akhirnya bisa menjadi pacar saya dengan tidak tahu dirinya (ini kata sahabat2 saya) meninggalkan saya demi Miss D!. Ego saya tersinggung! *sok dramatis* Hahhaha :D
Ah, gak lah. Saya bercanda. Saya memang kaget ketika melihat foto dan komentar2 mesra mereka. Namun akhirnya blasss tawar, saya ga merasakan apa-apa lagi.

..

Tulisan ini just for fun doang. Ga ada maksud apa-apa. Saya turut berbahagia atas pernikahan Mr. B. Saya juga senang ‘ketemu’ Mr. C dan barangkali Miss D adalah soulmate-nya dia. Saya cuma menuangkan perasaan saya lewat tulisan ini dengan sedikit mendramatisasi. Kalau suatu saat kalian terdampar diblog ini dan membaca tulisan ini, percayalah ini bukan bermaksud menyakiti kalian. Tapi Cuma untuk mengabadikan sepotong kenangan tentang kalian ;)

Jumat, 18 Desember 2009

OK, gw ga lajang lagi tp gw bahagia..

“Jadi, apa bedanya nikah dengan ketika lo masih lajang dulu”
Seorang sahabat bertanya kepada saya. Hmm, saya sempat tercenung sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. Well, yang jelas bagi menikah membuat saya jauh lebih bertanggungjawab.

Sederhananya begini, ketika lajang saya bisa seenak hati saya kerja dari pagi sampai sore, malamnya pun masih sempat kongkow-kongkow ga jelas dengan teman-teman saya belum lagi pola makan dan pola hidup saya yang ga sehat. Dan saya bisa gak peduli dengan semua itu. Nah, dengan menikah saya lebih banyak berpikir sebelum melakukan sesuatu. Tidak ada lagi kerja dari pagi sampai sore *saya memang resign karena ngikut suami pindah ke kota lain*, saya lebih peduli dengan kesehatan dan pola hidup saya. Dan yang paling terasa saya jauh merasa lebih nyaman dengan hidup saya.

Pernah, tercetus pertanyaan betapa naifnya saya karena meninggalkan pekerjaan dan ngikut suami. Saya akui keputusan itu memang cukup berat, meninggalkan dunia kerja untuk menjadi ibu rumah tangga. Tapi setelah banyak pertimbangan saya akhirnya memilih meninggalkan pekerjaan saya. Saya tidak cukup siap mengarungi pernikahan jarak jauh, ditambah dengan perekenalan saya dengan suami yang begitu singkat sebelum akhirnya kami memutuskan menikah.

Mari berhitung:

Kalau saya tetap bekerja dan kami mengarungi pernikahan jarak jauh, mungkin saya tidak sempat mengenal lebih jauh suami saya, mengenali kebiasaan-kebiasaannya, memahami keinginan-keinginannya, kami juga tidak bisa melaksanakan fungsi suami istri secara utuh dan tentu saja berat diongkos.

Saya kerja dari Senin sampai Sabtu. OK, Sabtu Cuma setengah hari. Kalau tiap minggu saya mengunjungi suami, mungkin gaji saya habis diongkos saja. Kalaupun suami yang mengunjungi saya tentu lebih repot lagi, karena suami seorang wirasawasta tidak ada hari libur. Dan akhir pekan justru hari yang paling sibuk bagi dia. Kalaupun saya sekali dua minggu mengunjungi suami memang tidak berat diongkos namun waktu untuk bersama pun begitu sempit.

Lagian berapa sih gaji saya? Bukannya tidak bersyukur, cuma rasanya terlalu ‘kejam’ mengorbankan pernikahan kami ‘hanya’ demi gaji yang tidak seberapa itu. Toh, saya pun cuma karyawan kontrak yang jenjang karirnya mandeg.

Suami tetap mengijinkan saya hunting pekerjaan di kota baru saya. Dia gak pernah mengekang. Dan walau tidak pernah disinggung dari awal pernikahan, cuma ketika menikah ternyata dia sudah punya perhitungan sendiri soal keuangan keluarga. Wow, dia memang suami yang hebat walau saya tahu dia bukanlah pengusaha dengan omzet milyaran rupiah, tapi dia begitu disiplin mengelola keuangan dan tanpa bekerja pun saya diajari bagaimana bisa punya ‘penghasilan’ sendiri.

Tentu bukan dengan ikut wirausaha seperti dirinya. Nah, karena suami bukanlah orang gajian yang tiap bulan menerima gaji, saya dikasih belanja harian. Dari uang belanja harian itu saya bisa menabung sebesar Rp. X,- setiap bulan. Wow, bahkan ketika masih bekerja dulu saya begitu susah untuk menabung karena tiap bulan gaji saya habis untuk bayar biaya hidup saya saja.

Perbedaan lain antara menikah dengan lajang adalah, saya lebih perhitungan dengan uang. Hahha tapi dalam artian positif. Dulu ketika masih lajang saya terbiasa beli baju, sepatu, tas atau asesori lainnya tiap bulan. Walaupun tidak semua item, Cuma tiap bulan ada aja yang baru. Mana kepikiran untuk nabung apalagi investasi?

Awal-awal menikah kelakuan ketika lajang masih terbawa. Saya masih sering beli ini itu yang kalau dipikir-pikir ga begitu penting. Suami ga pernah melarang Cuma bertanya ‘barang itu penting gak?’ Setelah dua bulan pernikahan saya mulai bisa menkategorikan barang-barang yang dibutuhkan, barang-barang yang ‘Cuma lapar mata’ saja dan barang-barang yang ga punya nilai guna sama sekali. Dan ternyata ketika bisa memakai skala prioritas, tabungan saya membengkak ;)

Selanjutnya menikah membuat saya nyaman dan bahagia. Jujur saja, ketika belum dapat gambaran sama sekali tentang menikah saya takut sekali menjadi perawan tua. Ya, usia 25 tahun dengan status single adalah momok menakutkan bagi sebagian perempuan. Apalagi saya yang ketika itu tidak punya waktu untuk bersosialisasi. OK, teman2 saya banyak, kenalan banyak. Cuma saya merasa saya tidak punya waktu untuk bisa ‘mencari’ pasangan hidup yang sesuai dengan saya. Memang ada beberapa pria yang dekat ataupun yang saya sukai, Cuma saya meragukan keseriusan mereka. Saya butuh pria yang mau berkomitmen. Dan, bagai jatuh dari langit suami saya datang ‘menyelamatkan hidup’ saya *sok dramatis* :D

Kalau dipikir dengan akal sehat tidak masuk akal seorang saya yang sangat ‘picky’ bisa langsung memutuskan menikah dengan orang yang baru saya kenal, tapi kalau dipikir dengan ‘rasio Allah’ mungkin masuk akal saja. Saya ingin menikah dan ada orang yang mengajak saya menikah. Dan kami pun menikah. Yah, sesimpel itu ;)

Kamis, 10 Desember 2009

dream job!

Ngomong-ngomong soal pekerjaan, sebenarnya pekerjaan seperti apa yang bisa dinikmati dan diimpikan semua orang? Barangkali adalah pekerjaan yang bisa memberikan rasa kepuasan dan kenyamanan baik secara materi ataupun non materi. Pekerjaan yang bisa memerdekakan pikiran dan masalah finansial kita.

Sewaktu kuliah dulu saya bingung mau kemana setelah tamat nanti. Dengan ijazah dari jurusan Teknik Elektro yang terbayang dibenak saya hanyalah perusahaan semacam PLN, atau perusahaan elektronik dan industri lainnya. Dan itu sungguh membuat saya khawatir. Jujur saja, walaupun saya salah satu mahasiswa yang lulus cepat di angkatan saya dan dengan nilai yang cukup tinggi pula dibandingkan dengan teman2 seangkatan saya yang lain, namun saya tidak cukup percaya diri bersaing dengan ribuan lulusan lain untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan2 favorit. Ditambah lagi, saya merasa bahwa ‘kesalahan terbesar’ dalam hidup saya adalah ketika saya kuliah di Teknik Elektro.

OK, ketika SMA saya memang masuk jurusan IPA. Dan itu semata-mata karena ketika kelas dua SMA saya terpilih masuk ke lokal 2-1 yang merupakan lokal unggulan dimana ketika mereka naik ke kelas 3 otomatis masuk jurusan IPA yang merupakan jurusan anak-anak cerdas. Anak-anak unggulan. Ah, padahal ketika itu saya sangat ingin masuk jurusan Bahasa yang notabene adalah lokal siswa-siswa ‘buangan’. Lokal dimana berkumpul anak-anak nakal dan lemah otaknya. Saya heran bagaimana bisa stigma negative itu bisa demikian lekatnya di benak para siswa dan guru2 selama puluhan tahun?!

Alhasil, dengan hati yang berat saya jalani juga sebagai siswa IPA1 yang dianggap oleh seluruh sekolah adalah lokal unggulan, tempat berkumpulnya siswa2 cerdas. Gak peduli betapa nilai Fisika saya gak pernah lebih dari 6, Matematika saya yang cuma sekali dapat angka 8, dan Kimia dan Biologi saya yg juga pas-pasan. Saya lemah dalam ilmu eksak. Saya sadar betul hal itu.

Ketika kuliah pun entah bagaimana ceritanya saya terdampar di Teknik Elektro sebagai mahasiswa undangan. OK, saya memang mengisi formulir mahasiswa undangan di kampus saya tapi saya jelas-jelas memilih Bahasa Inggris dan Manajemen. Namun ketika pengumuman kelulusan, saya justru mendapat ‘kursi’ di Teknik Elektro. Ah, ajaib bukan main.

Lagi-lagi saya terlalu pengecut untuk ikut UMPTN dan bersaing dengan ratusan ribu siswa di seluruh Indonesia untuk memilih jurusan yang saya inginkan. Saya kembali dengan berat hati mengikuti alur hidup dan kuliah di jurusan Teknik Elektro itu. Walau saya benci eksak, saya benci Fisika dan matematika. Baik, saya jelaskan, dari seluruh ilmu di Fisika saya paling benci dengan ilmu listrik namun ketika kuliah saya mempelajari listrik selama 3,5 tahun kuliah saya. Ah, benar2 menyebalkan!

Ketika tamat saya memutuskan tidak lagi berurusan dengan listrik itu. Saya banting stir. Cukup sudah si listrik mematikan impian2 saya. Saya melirik dunia penyiaran dan jurnalistik. Sebagai si pemalu dan cewek yang romantis (hahahaha) saya sangat mencintai musik, saya juga mencintai tulisan-tulisan dan buku-buku. Saya sangat ingin menjadi penulis atau penyiar radio.

Setamat kuliah saya diterima sebagai penyiar radio, hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidup saya. Bahkan sampai sekarang saya masih ingat betapa dada saya membuncah saking senangnya, saya menangis, saya tertawa dan saya tak berhenti bersyukur. Padahal kalau dipikir-pikir “Helllooo.. ini kan ‘Cuma’ penyiar radio”. Pekerjaan yg barangkali tidak pernah dilirik oleh orang, pekerjaan yang ga bergengsi sama sekali, namun bagi saya inilah hidup saya. Impian saya. Norak sekali 

Namun hidup gak melulu soal keinginan yang terwujud saja. Kebahagiaan memang gak bisa dibeli dengan uang, namun saya akui uang juga bisa membawa kebahagiaan. Kita jauh lebih bahagia ketika ada uang. Kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan uang. Dan uang gak ada di dunia radio saya. Saya miskin uang bekerja di radio. ;)

Akhirnya saya beranikan diri melamar ke sebuah perusahaan yg cukup besar di kota saya. Alhamdulillah diterima walaupun kontrak. Namun waktu itu yang ada di otak saya hanya uang. Saya harus mendapatkan uang. Karena setelah tamat saya berjanji gak akan tergantung lagi dengan orang tua saya. Dan untuk mandiri tentu saja butuh uang kan?

Tiga setengah tahun saya bekerja di perusahaan itu, saya memang mendapatkan uang namun tidak bisa memuaskan saya. Uang yang saya dapat tidak sesuai dengan seluruh waktu dan tenaga yang saya berikan. Saya tidak enjoy, kreativitas saya mati, yang saya dapat hanya capek dan gaji yang pas-pasan di akhir bulan. Ah, bukan pekerjaan seperti ini yang saya impikan. Menjadi penyiar masih jalan namun tidak bisa lagi saya nikmati karena energi saya sudah terkuras habis karena pekerjaan utama saya. Jadi empat tahun setelah tamat saya memang tidak merasakan yang namanya menganggur namun saya juga merasa saya tidak menadapatkan apa-apa. Alangkah sia-sianya.

Jika hidup bisa diputar lagi banyak hal yang ingin saya perbaiki. Namun tentu saja itu harapan yang bodoh bukan?

Sekarang saya sudah menikah. Sempat terbersit dipikiran saya sebelum menikah dulu kalau saya ingin menjadi ibu rumah tangga saja. Saya resign dari tempat kerja saya walaupun saya tahu kontrak saya akan diperpanjang. Saya meninggalkan radio tempat saya dulu pertama kali merasakan bahagia dalam hidup hidup saya.

Namun, manusia memang tidak pernah puas. Belum genap dua bulan menikah saya sudah hunting pekerjaan lagi. Saya tidak betah jadi ibu rumah tangga. Sudah puluhan surat lamaran saya kirim, beberapa dipanggil namun tetap saja pekerjaan itu bukanlah ‘keinginan’ saya. Saya ditawari bekerja di salah satu perusahaan Indeks Saham. What? Saya mundur, saya gak tertarik. Saya melamar di perbankan, ditawari pekerjaan menjual produk mereka. What? Saya lagi-lagi tidak berminat. Ujung-unjungnya saya kembali menjadi penyiar radio.

Kadang saya heran, saya sudah tahu bahwa yang saya inginkan hanyalah jadi penyiar radio namun saya masih saja melamar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang kebetulan sedang membuka lowongan.

Apa karena gengsi?
*ingin jadi pekerja kantoran dengan pakaian rapi dan bagus serta dapat gaji bulanan, dan tentu saja bisa ‘pamer’ kalau suatu saat teman2 lama menanyakan : “kamu kerja dimana?” dan saya bisa menjawab dengan nada bangga bahwa saya bekerja di perusahaan ini. Bla.bla.bla*

Apa karena tuntutan ekonomi?
*Suami saya memang bukan konglomerat, namun alhamdulillah kami tidak kekurangan. Tanpa saya bekerja-pun suami masih bisa amenghidupi RT kami, ya walau sepertinya saya ingin juga punya penghasilan sendiri ;)*

Apa karena ingin merasa berarti?

Ah, entahlah. Sampai sekarang saya masih bingung

Hal-hal yang menjadi impian saya sebenarnya hanyalah:
• Saya tetap jadi penyiar radio, yang punya keleluasaan waktu, saya bisa memutarkan lagu2 favorit saya, saya bisa menyapa dan menyampaikan informasi-informasi menarik bagi pendengar saya.
• Saya merambah ke dunia televisi dengan catatan waktunya tidak mengekang
• Saya mempunyai usaha sendiri (bisnis makanan, taman bacaan atau rental film)
• Saya rutin menulis lagi
• Saya punya penghasilan sendiri yang bisa membantu suami saya untuk mewujudkan impian2 kami 

Sederhana bukan? Namun karena saya banyak maunya, impian itu sebenarnya tidaklah sederhana.

Oh, What a life!